Friday, November 27, 2020

Pengaruh Penerapan Psak No.105 Terhadap Bagi Hasil Bank BTN Syariah Part I

 PENGARUH PENERAPAN PSAK NO.105 

TERHADAP  BAGI HASIL BANK BTN SYARIAH

Proposal Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Pada Jurusan Perbankan Syariah
Fakultas Syariah & Ekonomi Islam





Disusun Oleh :
Nila Ernila
NIM : 1414231087


KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
1439 H / 2018 M



A.  Judul Penelitian
“Pengaruh Penerapan Psak No.105  Terhadap Bagi Hasil Bank BTN Syariah”

B.  Latar Belakang Masalah
      Fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange). Dari fungsi utama ini diturunkan fungsi-fungsi yang lain seperti uang sebagai standard of value (pembakuan nilai), store of value (penyimpan kekayaan), unit of account (satuan penghitungan) dan standard of defferred payment (pembakuan pembayaran tangguh).

     Namun ada satu hal yang sangat berbeda dalam memandang uang antara sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga sebagai komoditas. Namun dalam pandangan islam apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa dijualbelikan dengan tambahan keuntungan atau return on capital. Tetapi ia memiliki  return on capital bila dikembangkan dalam bentuk akad mudharabah[1].

      Bank Syariah merupakan sistem perbankan yang berbasis syariah dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penghimpun dan penyaluran dana. Dalam menjalankan fungsinya bank syariah menggunakan beberapa akad untuk melakukan transaksi, salah satu akad yang sering digunakan adalah pembiayaan mudharabah

      Menurut PSAK 105, akad mudharabah adalah akad kerjasama dua pihak, dimana pihak pertama sebagai shahibul mal yang memberikan modal 100% dan pihak kedua sebagai pengelola modal atau mudharib dan apabila terdapat keuntungan maka dibagi sesuai kesepakatan, namun apabila terdapat kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaian pihak pengelola maka, kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal.

     Pembiayaan mudharabah diatur dalam PSAK 105, namun pada prakteknya perbankan belum sepenuhnya menerapkan ketentuan akad ini, salah satunya pada pembagian bagi hasil yang ditentukan berdasarkan prosentase dari keuntungan hasil usaha pada sektor ril, seringkali bagi hasil ini tidak berdasarkan prosentasi dari laporan hasil usaha yang dilaporkan oleh mudharib, namun pembayarannya menggunakan bagi hasil yang flat dan ditetapkan oleh bank bukan melihat dari laporan.

      Oleh karena itu penulis akan mencoba meneliti mengenai pengaruh penerapan ketentuan PSAK 105 sepenuhnya pada oprasional pembiayaan mudharabah di lembaga keuangan syariah terhadap bagi hasil perusahaan mudharib.

       Pada PSAK 105 paragraf 11 menyatakan bahwa Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi laba. Jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omset). Sedangkan jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto (net profit) yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.

      Namun mengenai bagi hasil ini, sebagian masyarakat dan ulama masih belum memahami sepenuhnya, hal ini dimungkinkan karena dari lembaga keuangan yang menyediakan pembiayaan mudharabah belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pembiayaan mudharabah dan mungkin kurangnya sosialisasi dari lembaga keuangan syariah.

       Menurut Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA menyatakan bahwa “Istilah bagi hasil yang digunakan oleh banyak bank syariah itu ternyata jauh berbeda. Ketika seorang mendapatkan pinjaman uang dibank syariah, belum apa-apa sudah ditetapkan bahwa nanti hasilnya harus sekian. Jadi nanti bagi hasilnya pun juga sudah ditetapkan berapa persen dari hasil itu. Alasannya pun klasik sekali, terlalu sulit untuk bisa menghitung hasil dari sebuah usaha tiap bulan. Jadi karena sulit untuk menghitungnya, sejak awal sudah dipastikan saja secara flat, biar tidak merepotkan. Tetapi penetapan secara flat ini tetap ada ketentuan dan rujukannya. Tahukah apa yang jadi rujukannya ? Ya, tidak lain adalah suka bunga.”

      “Sebenarnya yang jadi masalah utama bukan besar atau kecilnya bunga atau bagi hasil, tetapi penggunaan ‘kamuflase’ istilah bunga menjadi bagi hasil.” [2]

      Untuk itu peneliti akan mencoba meneliti lebih dalam lagi tentang pendapat ini, apa benar bunga dengan bagi hasil itu sama saja atau mungkin ini hanya salah paham atas  penyamaan bunga dengan bagi hasil, karena memang kurangnya sosialisasi.

      Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan Renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis.[3] Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

      Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non konvensional.[4]

      Pada sidang Menteri luar negri negara-negara organisasi konferensi islam di Karachi, Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam.[5]

      Perusahaan atau lembaga-lembaga yang akan menerapkan hukum-hukum Islam dalam transaksinya, seperti bank-bank Islam, perusahaan-perusahaan asuransi Islam, serta lembaga-lembaga investasi dan permodalan islami, lembaga-lembaga ini merupakan tempat implementasi akuntansi Islam yang berperan dalam berbagai krisis yang terus menerus, juga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan akuntansi yang meluas di masyarakat[6]

      Akuntansi Islam berlaku sepanjang zaman, karena akuntansi islam berpedoman pada hukum islam yang lebih memfokuskan pada kaidah-kaidah pokok yang sudah baku. Jadi, usaha atau pendapat sebagian ulama dan masyarakat yang menyetarakan hukum islam itu dengan undang-undang dan hukum-hukum konvensional adalah tindakan kriminal terhadap syariat Islam[7]
      Perbedaan bank syariah dan konvesional yang paling diketahui oleh masyarakat adalah besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh namun besarnya persentase bunga berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjam, namun pada prakteknya perbankan syariah yang menerapkan bagi hasil pada pembiayaan mudharabah ketika mudharib melakukan pembayaran, pembayarannya itu tetap jumblahnya dalam setiap bulan. Hal ini menarik anggapan sebagian masyarakat dan ulama bahwa sistem bagi hasil dan bunga itu sama saja. Hal ini juga salah satunya yang membuat lambannya perkembangan perbankan syariah.

      Dalam PSAK 105 No. 22 “Pengakuan penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi penghasilan usaha dari pengelola dana tidak diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha.”

     Oleh karena itu penulis juga akan meneliti mengenai pengaruh penerapan akuntansi syariah pada laporan bagi hasil yang disediakan oleh mudharib terhadap bagi hasil perusahaan mudharib. Dalam pembahasan perkuliahan, laporan ini sering disebut namun tidak pernah tahu bentuk dan pada kenyataannya mudharib jujur dalam melaporkan atau tidak. Sejauh ini peneliti belum pernah melihat dan mengetahui kebenaran adanya laporan bagi hasil dari mudharib, untuk itu peneliti akan melakukan survey pada salah satu perusahaan yang melakukan pembiayaan pada lembaga keuangan syariah.

Untuk part lainnya, silahkan klik disini!

0 comments:

Post a Comment