Wali dan Saksi dalam Pernikahan
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : Dr. H. Kosim Rusdi, M.Ag
Disusun Oleh :
Nila Ernila (1414231087)
Perbankan Syariah 3/ Semester VI
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Telp. (0231) 481264 Fax. (0231) 489926
Tahun Ajaran 2017/2018
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Wali dan Saksi dalam Pernikahan
Secara bahasa, wali mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa. Wali dalam pernikahan secara istilah adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
Secara bahasa saksi berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian).[1] Secara Istilah saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan kesaksiannya dan mengemukakannya, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya.[2]
B. Syarat-syarat Wali
Para ulama mazhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama, bahkan banyak di antara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun ayah dan kakek.
Namun, tidak diragukan sama sekali bahwa yang demikian itu berarti menutup pintu perwalian dengan semen beton, tidak sekedar dengan semen dan batu belaka, sebab ‘adalah (adil) itu adalah sarana untuk memelihara dan menjaga, dan bukan merupakan tujuan itu sendiri.
Para ulama mazhab sepakat bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilakukan wali dalam harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang hal itu baik dan bermanfaat, dinyatakan sah; sedangkan yang menimbulkan madharat tidak dianggap sah. Tetapi ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab tentang tindakan yang dianggap tidak bermanfaat, tetapi juga tidak madharat.
Sebagian ulama Imamiyah mengatakan “Hal ini dibenarkan manakala yang melakukannya adalah ayah atau kakek. Sebab, hal yang disyaratkan di situ adalah tindakan 169 tersebut tidak merusak dan harus membawa maslahat.Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh hakim atau orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dibatasi pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat saja. Bahkan sebagian ulama mazhab Imamiyah tersebut mengatakan: Tindakan yang dilakukan oleh ayah dinyatakan tetap berlaku, sekalipun membawa manfaat dan madharat bagi si anak kecil.
Mazhab selain Imamiyah mengatakan: Tidak ada perbedaan antara ayah, kakek, dan hakim serta orang yang dipandang sah bila tindakan tersebut membawa manfaat. Pandangan serupa ini juga dianut oleh banyak ulama mazhab Imamiyah.
Berdasarkan hal itu, maka seorang wali boleh berdagang dengan menggunakan harta anak kecil, orang gila, dan safih, atau menyerahkannya sebagai modal bagi orang yang berdagang dengannya, membeli berbagai perabot, menjual sebagian hartanya, meminjamkannya, dan lain sebagainya. Semua itu disertai syarat adanya kemaslahatan dan kejujuran. Kemaslahatan yang terdapat pada utang hanya terbatas pada kekhawatiran akan hilangnya harta.[3]
Mengenai perwalian ini, kompilasi hukum Islam memperinci sebagai berikut :
pasal 107
1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan pada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudippenjudi, pemboros, gila, dan melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah. 171
Pasal 110
1. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
2. Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
3. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
4. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap-tiap satu tahun sekali.
Pasal 111
1. Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
2. Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat menggunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir.[4]
C. Macam-Macam Wali
Singkatnya urutan wali adalah:
1. Ayah seterusnya keatas
2. Saudara Laki-laki kebawah; dan
3. Saudara laki-laki ayah ke bawah[5]
Untuk bagian kedua dari makalah ini, bisa klik disini !
0 comments:
Post a Comment