Pendahuluan
Persoalan yang membelit wacana pemikiran Islam mencerminkan krisis epistemologi. Oleh karena itu perlu dipaparkan dan diuraikan kembali prinsip dan dasar epistemologi Islam berdasarkan kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Mengetahui itu Tidak Mustahil
Dengan segala kemampuan yang dimiliknya dan keterbatasan yang ada padanya, setiap manusia normal sesungguhnya dan pada hakikatnya dapat mengetahui, menilai, dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Penting dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kemampuan” adalah kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Adapun “keterbatasan” meliputi intrinsik dan ekstrinsik non manusiawi, keterbatasan yang meskipun ada namun tidak sampai berakibat menggugurkan nilai kebenaran maupun keabsahan atau validitas pengetahuan itu. Sedangkan kondisi “normal” yang dimaksud adalah keadaan seorang yang sempurna, sehat fisik, mental, jasad, maupun ruhnya, dan terutama sekali akal dihatinya.
Maka dengan kata lain, mengetahui itu tidak mustahil, manusia bisa dibedakan dari monyet, ayam tidak bisa disamakan dengan burung, roti dengan batu, atau akar dengan ular. Demikian hal-hal tersebut diatas, semua tidak mustahil untuk diketahui dan dimengerti, dapat dibedakan dan bisa dijelaskan.
Mengetahui Secara Konseptual dan Proporsional
Apapun yang anda ketahui pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi dua: (1) masih atau hanya berupa ide atau konsep, misalnya konsep tentang “orang”, “binatang”, “batu”, dll, dan (2) ada yang sudah berbentuk kalimat, pernyataan, atau ungkapan, contohnya “tiada tuhan melainkan Allah”. Mengetahui secara konseptual disebut tasawwur yang dengannya anda bisa mengidentifikasi apakah objek yang melintas didepan mata itu manusia atau binatang, terlepas dari berbagai ciri-ciri atau atribut yang ada padanya maupun kategori-kategori lainnya.
Pengetahuan jenis kedua adalah gabungan beberapa konsep dasar tadi, kombinasi konseptual ini disebut tasdiq, yakni pernyataan yang memuat nilai kebenaran dan merupakan pengakuan kebenaran. Jika para ulama ushul fiqh menamakan “khabar” maka dalam istilah logika modern, tasdiq sama dengan proposisi.
Dari Mana Kita Mengetahui ?
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana cara ? dengan apa ? atau dari mana masalah-masalah tersebut bisa diketahui dan dipastikan ? meminjam formulasi diskursus filsafat modern: how is knowledge possible ? jawabannya melalui tiga sumber, yaitu persepsi indra, proses akal sehat, serta intuisi hati, dan melalui informasi yang benar.
Persepsi indrawi meliputi yang lima, yakni indra pendengar, pelihat, perasa, penyium, dan penyentuh, plus indra ke-enam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya ingatan atau memori, daya penggambaran atau imajinasi, dan daya estimasi. Selanjutnya dengan intuisi kalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib, apalagi dalam urusan agama adalah wahyu yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit dan ditransfer sampai ke akhir zaman.
Mengklasifikasikan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai berikut, pertama pengetahuan berupa proposisi atau pernyataan yang menunjuk objek persepsi indrawi, seperti pengetahuan kita tentang madu rasanya manis. Kedua, berupa ungkapan yang menunjukan hal-hal yang kita ketahui secara “a priori”, seperti ½ lebih besar dari ¼ . Ketiga, pernyataan yang mewakili intuisi, pengalaman visik, visi spiritual, atau supernatural. Seeperti pengetahuan yang diberikan kepada para Nabi dan orang-orang saleh. Keempat, pernyataan yang memuat berita wahyu yang didengar, diriwayatkan, atau dinukilkan, dan sumber-sumber otoritatif.
Dalam berbagai bentuk pernyataan seperti tersebut diatas itu juga dinamakan dalil. Disamping itu, sudah barang tentu terdapat pemilihan-pemilihan lain, misalnya klasifikasi pengetahuan berdasarkan objek kajiannya.
0 comments:
Post a Comment