Wednesday, January 6, 2021

Filsafat Ilmu - Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam II


Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/gab-rysia

 

Khabar Shadiq: Klasifikasi dan Otoritasnya

      Secara umum khabar dalam arti berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, dll dapat diklasifikasikan sebagai berikut, pertama, berdasarkan nilai kebenaranya, yaitu khabar benar dan khabar palsu, sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa pemilihan ini butuh diperjelas lagi, berdasarkan hal ini mereka memilah khabar menjadi tiga, yakni yang sudah pasti benar, yang sudah pasti dusta/ palsu/ salah/ keliru, yang tidak dapat dipastikan benar atau salahnya.

     Imam an-Nasafi telah menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua, yakni pertama, khabar mutawatir yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dan banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, kedua adalah informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para rasul yang diperkuat dengan mukjizat. 

     Klasifikasi kedua berdasarkan kuantitas sumbernya, jika sumbernya banyak sehingga sama sekali tidak mungkin bohong atau salah, maka disebut mutawatir. Lalu jika sumbernya banyak (dalam kasus hadits, harus terdiri dari generasi kurun pertama dan kedua Hijriah), namun tidak sampai ke derajat mutawatir, maka disebut khabar masyhar, sementara jika sumbernya tiga orang atau lebih maka disebut mushur. Adapun jika hanya dan satu sumber saja, maka dinamakan khabar al-wahid atau khabar al-ahad.

     Para ulama menetapkan syarat sebagai patokan untuk menentukan apakah khabar layak disebut mutawatir atau tidak. Syarat pertama, narasumber harus betul-betul mengetahui apa yang mereka katakan atau sampaikan. Kedua, narasumber harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat atau mengalaminya langsung tanpa ilusi, oleh karena itu klaim kaum Nasrani bahwa Nabi Isa a.s mati disalib tidak bisa diterima karena mereka telah dikelabui. Ketiga, jumlah narasumbernya harus cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan atau kesalahan akan dibiarkan tanpa koreksi.

Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/heterosapiens


Kritik Narasumber
      Diterangkan oleh Imam Muhammad ibn Ali ibn Muhammad as-Syaukani (w. 1255 H) bahwa khabar al-wahid baru bisa diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat. Pertama, sumbernya harus seorang mukallaf, syarat kedua adalah sumbernya harus beragama Islam, ketiga sang narasumber harus mempunyai ‘adalah, yaitu integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan dan kewibawaan diri sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya, keempat sinarasumber diharuskan memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sombong dan asal jadi, dan syarat kelima adalah sang narasumber harus jujur dan terus terang.

      Imam Abu Hatim ibn Hibban (w. 354) telah memberikan “daftar hitam” 20 orang yang tidak layak diterima pernyataannya, yakni: (1) orang-orang “zindiq” yaitu orang-orang yang zahirnya Muslim namun sebenarnya kafir; (2) orang yang sengaja dan berani berdusta atau Rasulullah dengan alasan amar ma’ruf nahi munkar; (3) orang yang terang-terangan berdusta; (4) orang yang berdusta karena dan untuk kepentingan duniawi; (6) orang lanjut usia yang sudah kacau ingatannya; (7) orang yang sok tahu dan menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya; (8) orang yang bukan pakar atau ahli dibidangnya; (9) orang yang mengajar dari buku seseorang yang ia tak pernah berguru langsung padanya; (10) orang yang memutarbalikan khabar dan menyamaratakan otoritas semua narasumber; (11) orang yang mengajarkan sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh gurunya; (12) orang yang mengajarkan apa yang didapatnya dan buku semata-mata; (13) orang jujur namun sering keliru dan salah besar; (14) orang yang namanya sering dimanfaatkan oleh anak atau juru tulisnya; (15) orang yang tidak tahu kalau karya tulisannya telah dimanipulasi; (16) orang yang pernah keliru tanpa disengaja, kemudian menyadari kekeliruan tersebut, akan tetapi membiarkannya tanpa dikoreksi; (17) orang fasiq yang sering mengabaikan perintah agama dan banyak melanggar aturan agama secara terang-terangan; (18) orang yang tidak menyebutkan sumber asal karena tidak pernah ditemuinya; (19) orang yang mempropagandakan ajaran sesat; dan (20) orang yang berdusta untuk menarik perhatian orang banyak dengan cerita, nasihat, atau ceramahnya.

      Kurang lebih dua abad sebelum itu, Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/ 795 M) telah berkata, “ada empat orang yang ucapannya tidak usah dicatat, yakni orang bodoh yang sudah dikenal kebodohannya, pengikut hawa nafsu yang sudah tersesat lalu mengajak orang lain kepada kesesatannya itu, orang baik-baik yang tidak paham apa yang diucapkannya, orang yang berdusta berkenaan hadits Rasulullah saw.

Klasifikasi dan Kritik Berdasarkan Isi
      Para ulama ushul menetapkan tiga syarat bagi diterima atau tidaknya suatu khabar ilmu ditinjau dari isi pesannya, yakni pertama jika tidak mustahil adanya menurut akal sehat, kedua jika tidak sampai menyalahi secara kontradiktif keterangan nash yang jelas, ketiga jika tidak menyalahi apa yang telah disepakati oleh umat Islam.

      Adapun para ulama ahli hadits telah memilah khabar berdasarkan isi matannya, sebagai berikut: Apabila terdapat cacat, kesalahan, atau kekeliruan dalam ungkapan kata-katanya maka disebut mu’allal. Apabila terdapat interpolasi atau penambahan kata-kata dalam susunan kalimatnya maka dinamakan mudraj. Apabila terdapat beberapa versi yang berbeda-beda pada ungkapannya maka dikatakan mudtarib.

0 comments:

Post a Comment