Thursday, January 7, 2021

Filsafat Ilmu - Konstruk Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

 



Pendahuluan
      Saat ini begitu banyak Kalangan yang menyerukan perlunya pembaruan ushul fiqh sebagai pintu masuk untuk memperbarui tatanan hukum Islam. Tentu saja kita tidak bijak jika terburu-buru menolak begitu saja seruan ini, namun kita juga tidak seharusnya latah meninggalkan khazanah keilmuan Islam klasik, sebelum memahaminya dengan baik.

Kedudukan Fiqh dalam Pemikiran Islam
      Fiqh menempati posisi penting dalam peta pemikiran Islam, ia bukan hasil adopsi apalagi jiplakan dari hukum Romawi seperti dikatakan sebagian orientalis, tetapi murni hasil kreativitas inelektual Muslim yang sepenuhnya berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.

      Bagi umat Islam fiqh adalah perwujudan kehendak Allah terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan, fiqh bukan hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ritual semata, melainkan juga seluruh aspek kehidupan manusia dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan tuhannya, keluarga, lingkungan, masyarakat, serta dengan orang yang diluar agama dan negaranya.

      Para ulama mendefinisikan fiqh sebagai “pengetahuan tentang hukum syara’ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”. Definisi ini menunjukan bahwa yang menjadi objek kajian fiqh adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Sebab manusia pada dasarnya menurut Ibn Khaldun adalah “domenieering being” yang punya ambisi dan kecenderungan untuk menguasai dan menaklukan orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya.

     Dalam Islam fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Perlu ditekankan bahwa fiqh bukan syari’at. Syari’at lebih luas dari sekedar hukum saja, ia mencakup fiqh, ‘aqidah, dan akhlaq. Karakteristik utama syari’at adalah bersifat permanen dan tidak akan pernah berubah. Sementara fiqh bersifat relatif dan fleksibel, ketika seorang mujtahid benar dalam ijtihadnya, artinya tepat dan sesuai dengan hukum Allah, ketika itu fiqh disebut syari’ah, hanya ketika dia salah, maka fiqh tetap menjadi fiqh. Untuk dapat menderivasi hukum dari sumber primer, fiqh memerlukan perangkat teoretik atau metodologi, biasa disebut ushul fiqh.

Ushul Fiqh dan Epistemologi Islam
      Ushul fiqh adalah “pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum, cara mempergunakannya, serta pengetahuan tentang orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut”. Fungsi dan perannya mirip logika dalam filsafat, jika logika dapat menghindarkan seseorang melakukan kesalahan dalam berargumentasi, maka ushul fiqh mencegah seorang fiqih berbuat kesalahan dalam menderivasi hukum.

      Sebagaimana fiqh telah muncul seiring dengan lahirnya Islam, demikian juga dengan lahirnya ushul fiqh, terbukti Nabi sendiripun pernah berijtihad, begitu juga sahabat. Para sahabat juga menggunakan qiyasistislah, dan metode-metode lain yang pada gilirannya dikenal dengan adillah. Syafi’i kemudian mensistemasikan pola pikir ijtihadi ini dalam magnum opus-Nya yang kemudian dinamai dengan al-Risalah. Sejak saat itulah ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tercatat didirikan.

      Ushul fiqh adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi, bukan sekadar metodologi penderivasian hukum.

Ushul Fiqh dan ‘Ilm Kalam/ Ilmu Kalam
      Imam Baqillani menyadari bahwa perhatian utama ushul fiqh sebenarnya adalah dalil, menurutnya hal ini perlu dilakukan karena dalil, madlul, hukum akal, syara dan lain-lain merupakan objek ilmu, oleh sebab itulah membahas persoalan ilmu menjadi suatu kemestian.

      Langkah al-Baqillani dikembangkan oleh muridnya Juwayni, memasuki abad ke-5 antara ushul fiqh dan ilmu kalam sudah tidak mungkin untuk dipisahkan, Juwayni sendiri menyatakan salah satu sumber ushul fiqh itu adalah ilmu kalam, disamping fiqh dan ilmu bahasa. Ushul fiqh memang tidak dipisahkan dari ilmu kalam, karena ia sendiripun dibangun atas postulat-postulat ilmu kalam. Ushul fiqh hanya membahas sesuatu yang sudah dibuktikan benar oleh ilmu kalam. Prinsip nasikh-mansukham-khasshaqiqah-majaz dan lain sebagainya dibangun atas postulat kebenaran Al-Qur’an bahwa ia benar-benar kalam Allah. Andaikan postulat kalam ini masih diragukan maka seluruh prinsip metodologi tadi dengan sendirinya juga akan runtuh.




Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Ushul Fiqh
      Syafi’i mendamaikan dua kubu perdebatan antara kubu Irak (ahl ra’y) yang lebih banyak mengunakan akal dan kelompok ahli hijaz (ahl hadits) yang lebih banyak menggunakan hadits-hadits Rasul. Tujuannya adalah ia ingin membuktikan bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal, tidak bertentangan justru saling mendukung. 

      Terjadinya perbedaan pendekatan antara ahl Hijaz dana ahl Iraq sesungguhnya lebih bersifat teknis, ahl Iraq banyak menggunakan akal karena kesulitan mengakses sunnah Rasul disebabkan letak geografis tempat mereka yang jauh dari pusat Islam, sedangkan ahl Hijaz mempertimbangkan persoalan politik yang telah menyebabkan berkembangnya hadits-hadits palsu, karena itu mereka khawatir menggunakan hadits palsu.

      Perseteruan ahl hadits dan ahl ra’y mengalami metamorphosis sekitar abad keempat dan abad kelima dalam konflik Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah yang dikenal bersifat rasionalis, mempertahankan tesis mereka bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk mengenai sesuatu tanpa bantuan syara’. Akan tetapi ulama Asy’ariyah menolak konklusi ini, menurut Juwayni, sesuatu itu terlarang atau sebaliknya bukan karena sifat esensinya, melainkan karena ketetapan syara’, haram atau tidaknya minuman khamar misalnya, itu bukan tergantung pada dzat minuman tersebut, melainkan pada syara’. 

      Persoalan ini  memiliki dampak besar dalam persoalan hukum, ada ulama yang berpendapat bahwa hukum itu tidak bersebab, tetapi pendapat ini ditolak oleh ulama lain, sebab tidak mungkin hukum Allah tidak memiliki tujuan, tujuannya jelas, yakni memberikan kebaikan kepada manusia dunia dan akhirat. Kata Syatibi andainya persoalan ini tidak dilihat dari kacamata kalam, niscaya semua sepakat bahwa seluruh hukum Allah itu adalah ditujukan untuk kebaikan manusia didunia dan juga diakhirat.

Konstruk Epistemologi Islam dalam Ushul Fiqh
      Salah satu persoalan yang mendasar dalam epistemologi adalah bagaimana kita mengetahui ? atau dengan cara apa kita mengetahui ? Syafi’i menjawab persoalan ini dengan bentuk hierarkis, katanya “tak seorangpun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di Qur’an atau sunnah, ijma’ atau qiyas”.

      Terkadang konflik antara sumber ilmu tidak dapat dielakkan, seperti yang mungkin berlaku antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah, atau Sunnah dengan Sunnah, apabila konflik menemui jalan buntu, maka dilakukan tarjih. Nah disini persoalan otoritas berperan penting, hadits yang tingkat validitasnya lebih tinggi harus didahulukan dari yang lebih rendah. Andaikan usaha rekonsiliasi tidak memungkinkan, maka metode terakhir adalah nasikh wa al-mansukh. Karena otoritasnya lebih tinggi, maka Al-Qur’an tidak bisa dimansukhkan oleh sunnah, Al-Qur’an hanya dapat dimansukhan oleh Al-Qur’an itu sendiri.

      Syatibi menjelaskan, “jika terjadi konflik antara naql (wahyu) dan akal dalam persoalan-persoalan syara’, maka naql harus diposisikan didepan. Berbeda dengan Al-Qur’an yang keseluruhannya dijamin benar, tidak dengan sunnah, hanya yang qath’i al-wurud, dalam hal ini hadits mutawatir yang dijamin kebenarannya. Berbicara mengenai sunnah maka kita tidak bisa melepaskan diri dari Syafi’i.

      Usaha Syafi’i menkonseptualisasikan sunnah sebenarnya didorong oleh realitas saat itu, dimana terjadi percampuran antara apa yang disebut sunnah Nabi dengan Sunnah sahabat. Syafi’i kemudian merevolusi makna sunnah dengan hanya membatasinya kepada Rasulullah.

      Selain Al-Qur’an dan Sunnah, ijma’ dan qiyas juga berfungsi sebagai sumber ilmu, yang termsuk dalam kategori ijma’ adalah ijma’nya para sahabat. Jadi keputusan ijma’ bersifat mengikat sacara epistemologis, ini berarti bahwa keputusan ijma’ adalah benar dan kita tidak mungkin untuk menentangnya. 

      Qiyas menempati posisi terakhir sebagai sumber hukum dan ilmu dalam pemikiran Islam, ia merupakan penghubung antara teks dan realitas, dengan qiyas maka teks bisa diperlebar sehingga mencakup seluruh permasalahan yang terjadi.

0 comments:

Post a Comment