Untuk makalah bagian I, bisa klik disini !
C. Macam-Macam Wali
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Imam Malik berdasarkan pada hadis Ummu Salamah r.a.:
“Sesungguhnya Nabi Saw. Menyuruh anaknya (yakni anak Ummu Salamah) untuk menikahkan (Ibunya) terhadap beliau”.
Imam Malik mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas ‘ashabah, Ia mengatakan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali, anak laki-laki sampai ke bawah, ayah sampai keatas, saudara-saudara lelaki seayah seibu, saudara lelaki seayah saja, anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, anak lelaki dari saudara lelaki seayah saja, kemudian kakek dari pihak ayah sampai keatas.
Wali nasab terbagi menjadi dua, yakni wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). dalam urutan diatas yang termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan yang nomor 2 menjadi wali ab’ad, Jika nomor satu tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab’ad, dan seterusnya. Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a. Apabila wali aqrabnya nonmuslim
b. Apabila wali aqrabnya fasik
c. Apabila wali aqrabnya belum dewasa
d. Apabila wali aqrabnya gila
e. Apabila wali aqrabnya bisu/tuli
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah bersabda:
“Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).
Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah pemerintah, Khalifah, Penguasa atau qadi nikah yang diberi wawanang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. Apabila tidak ada orang-orang ini, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang alim.
Wali hakim dibenarkan menjadi wali apabila dalam keadaan sebagai berikut:
a. Tidak ada wali nasab
b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad
c. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan
d. Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui
e. Wali aqrabnya ‘adlal
f. Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit)
g. Wali aqrabnya sedang ihram
h. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah; dan
i. Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.
Wali hakim tidak berhak menikahkan:
a. Wanita yang belum balig
b. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekutu
c. Tanpa seizin wanita yang akan menikah; dan
d. Wanita yang berada diluar daerah kekuasaannya.
3. Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah dengan calon suami mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan kalimat, “saya angkat bapak/ saudara untuk menikahkan saya dengan si... (calon istri) dengan mahar... dan putusan bapak/ saudara saya terima dengan senang.” Selain itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya terima tahkim ini.” Wali tahkim terjadi apabila:
a. Wali nasab tidak ada
b. Wali nasab gaib, atau bepergian selama dua hari, serta tidak ada wakilnya disitu; dan
c. Tidak ada Qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR)
4. Wali Maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Artinya, majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan disini terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.
Diceritakan dari Said bin Khalid, dari Ummu Qais binti Qaridh, ia berkata kepada Abdur Rahman bin Auf, “Lebih dari seseorang yang datang meminang saya. Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai. Kemudian, Abdur Rahman bertanya, “Apakah berlaku juga bagi diri saya ?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu kata Abdur Rahman, “Kalau begitu aku nikahkan diri saya dengan kamu.”
Imam Syafi’i berkata, “Orang yang menikahkannya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab, wali termasuk syarat pernikahan. Jadi, pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.”[6]
D. Syarat-syarat Sah Menjadi Saksi Pernikahan
1. Islam
Imam Rofi’i berhujjah dengan sabda Saw:
“Tidak dapat diterima kesaksian pemeluk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang islam karena mereka itu adalah orang-orang yang adil baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain” (HR.Abdur Rozzaq).
2. Balig
Sabda Nabi Saw: “Dari Aisya r.a., Nabi Saw., bersabda: Bebas dari tindakan hukum terhadap tiga orang, yaitu: orang tidur sampai ia bangun, anak-anak sampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia berakal atau sadar” (HR Ahmad dan Imam yang empat kecuali Tirmidzi).[7]
3. Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi. Hadis yang diriwayatkan Aisya diatas menunjukan hal tersebut.
4. Adil
“...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu...” (QS. Al-Thalaq ayat 2)
5. Dapat Berbicara
Saksi harus dapat berbicara. kesaksian orang yang tidak dapat berbicara dapat menimbulkan keraguan, sehingga kesaksiannya tidak dapat diterima, sekalipun ia menggunakan isyarat dan isyaratnya itu dapat dipahami, kecuali bila ia menuliskan kesaksiannya itu.
6. Ingatannya Baik
Kesaksian orang yang kemampuan daya ingatnya sudah tidak normal, pelupa dan sering tersalah, jelas tidak dapat diterima karena diragukan kebenarannya, sebab akan banyak sekali yang mempengaruhi ketelitian dalam ingatannya ataupun kesaksiannya.
7. Bersih dari Tuduhan
Hadis Nabi Saw: “Dari ‘Abdullah bin Umar r.a ia berkata rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan kesaksian yang khianat laki-laki dan perempuan, orang yang mempunyai permusuhan terhadap saudaranya dan tidak diperbolehkan kesaksian pembantu rumah tangga terhadap tuannya.” (HR Abu Dawud)
Dalam hal kesaksian, seorang yang mempunyai rasa benci dan permusuhan tidak diperbolehkan menjadi saksi atas perkara lawannya, sebab perasaan benci itu dapat memengaruhi secara negatif terhadap dirinya dalam memberikan kesaksian.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Tihami & Sohari Sahrani. 2013. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Abdul Aziz Muhammad Azam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2011. Fikih Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Amzah.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Abdur Rahman Ghozali. 2015. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[2] Muhammad Bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam, (Birut Libanon: Darul Kutubul Alamiyah, tth) hlm. 126.
[3] Tihami & Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2013). hlm. 211
[7] Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1996) Hlm. 40.
0 comments:
Post a Comment