Thursday, December 10, 2020

Arsitektur Perbankan Indonesia: Suatu Kebutuhan dan Tantangan Perbankan Kedepan Part I

 


      Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan tentang arsitektur perbankan nasional baik itu dari para pakar, praktisi perbankan, anggota DPR sampai dengan pejabat bank sentral. Pembicaraan seperti ini sangat wajar mengingat masyarakat sudah lama menanti nantikan seperti apa wujud dan bentuk arsitektur perbankan nasional itu sendiri. Arsitektur perbankan sebenarnya merupakan istilah baru saja, sebelumnya masyarakat sudah mengenalnya dengan beberapa istilah lain seperti blueprint perbankan, landscape perbankan, stratitifikasi perbankan ataupun pemetaan perbankan nasional. Namun demikian istilah arsitektur perbankan lebih memberikan nuansa yang bersifat lebih komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang diinginkan untuk ke depan.

Filosofi Dasar Arsitektur Perbankan Nasional
      Arsitektur perbankan nasional bukan hanya merupakan suatu policy recommendation bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang melainkan juga menjadi policy direction mengenai arah yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan demikian arsitektur perbankan itu merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan, bagaimana arah serta bentuknya dan menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan seperti misalnya kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya. Walaupun bersifat policy direction, arsitektur perbankan tersebut juga harus memuat tahapan-tahapan dan langkah-langkah kegiatan (action plans) yang bersifat konkrit mengenai implementasinya.

      Disamping itu, arsitektur perbankan nasional dapat berfungsi sebagai alat untuk perubahan-perubahan industri perbankan ke depan (as a tool of banking engineering), yang berarti, arsitektur perbankan akan menjadi benchmarkplatform maupun sasaran yang akan dituju oleh perbankan nasional. Dengan menjadikan arsitektur perbankan nasional as a tool of banking engineering, diharapkan industri perbankan nasional bersama-sama dengan stakeholders lainnya akan mengetahui bagaimana bentuk dan wujud perbankan kita dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan baik itu dari sisi regulasinya, pengawasan, struktur kelembagan dan sebagainya.

Perlunya Arsitektur Perbankan Nasional
      Kebutuhan perbankan nasional untuk memiliki suatu blueprint mengenai arsitektur perbankan yang bersifat komprehensif sudah waktunya untuk dibuat. Industri perbankan merupakan suatu industri yang bersifat capital intensive dan memiliki risiko usaha yang sangat tinggi, sehingga biaya dari exit policy akan menjadi sangat mahal. Jatuhnya industri perbankan tidak hanya berakibat buruk terhadap sistem perbankan itu sendiri, melainkan juga berpengaruh terhadap kestabilan sektor keuangan secara keseluruhan yang pada akhirnya akan berdampak langsung terhadap kelangsungan sektor riil. Runtuhnya industri perbankan nasional setelah krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 membuktikan bahwa industri perbankan saat itu tidak mampu mengatasi external shocks yang datang secara bergelombang, tanpa bisa diprediksi dan terjadi dalam waktu yang begitu cepat. Ketidak mampuan sistem perbankan nasional menghadapi external shocks tersebut yang berakibat pada runtuhnya sistem perbankan pada saat itu membuktikan bahwa sistem perbankan kita masih belum siap secara keseluruhan dalam mengahadapi krisis besar yang terjadi secara tiba-tiba. Untuk itu kestabilan sistem perbankan maupun keuangan harus dipertahankan secara berkesinambungan dan dapat dicegah sedini mungkin. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, banking architecture yang bagus dan komprehensif diharapkan mampu menjadi salah satu supporting infrastructure kestabilan sistem keuangan secara kseluruhan.

      Perkembangan inovasi produk dan jasa perbankan dalam satu dekade terakhir ini memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Produk dan jasa yang ditawarkan oleh perbankan berkembang sejalan dengan keinginan nasabah untuk mendapatkan pelayanan keuangan yang semakin lengkap dan komprehensif dari perbankan. Kecenderungan nasabah untuk melihat sebuah bank sebagai “financial supermarket” telah memaksa bank-bank untuk memasarkan produk-produk yang lebih bervariasi. Nasabah menginginkan bank untuk dapat memenuhi segala kebutuhan keuangan nasabah tersebut sejak dari mereka lahir sampai mati. Sebagai konsekuensinya, bank dituntut untuk menyediakan semua jasa keuangan dalam satu atap, sehingga nasabah tidak hanya ingin mendapatkan produk-produk bank saja melainkan juga produk-produk yang disediakan oleh lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan sekuritas. Kondisi tersebut telah memaksa bank-bank untuk menawarkan produk-produk lebih beragam, tidak hanya produk traditional seperti deposito, tabungan, kredit dan sebagainya, melainkan juga menawarkan produk-produk baru yang selama ini belum banyak dilakukan sektor perbankan seperti bankassurance (produk asuransi), derivatif (asset  backed securitiescredit linked notes) dan investasi (seperti reksadana, dan equity linked deposit).

     Sementara itu, kemajuan teknologi informasi yang berjalan sangat pesat menyebabkan  distribution channels untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi semakin cepat dan mudah serta bersifat borderless. Bank-bank semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan jasanya dengan memanfaatkan electronic based channels seperti misalnya pemakainan ATM, internet banking, phone banking dan electronic fund transfer at point of sales (EFTPOS). Dengan keterlibatan teknologi informasi dalam distribusi pelayanan jasa bank tersebut menyebabkan risiko yang dihadapi oleh industri perbankan juga semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya exposures risiko tersebut harus mampu diantisipasi dalam prudential activities perbankan itu sendiri, sehingga mau tidak mau penerapan pengawasan dan pengaturan ke depan haruslah berbasis risiko.

      Selain dari pada itu, tuntutan untuk comply dengan international best practices dalam hal pengaturan perbankan juga perlu diakomodir dalam arsitektur perbankan nasional. Basel Committe on Banking Supervision (BCBS) yang berpusat di Basel, Swiss, telah mengeluarkan beberapa ketentuan perbankan yang dikenal dengan the 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision maupun amandemen terbaru yang dikenal dengan nama Basel Acoord II. Negara-negara maju telah membuat agenda yang jelas mengenai rencana implementasi Basel II tersebut sekitar tahun 2006-2007 untuk industri perbankan mereka. Sebaliknya negara-negara berkembang sebagian besar belum memiliki agenda yang pasti kapan implementasi Basel II tersebut dapat dilaksanakan. Beberapa hal yang menjadi fokus dalam implementasi tersebut antara lain seperti penerapan market risk maupun operational risk dalam perhitungan modal bank (CAR) dan penciptaan disiplin pasar 4 (market discipline) masih belum dapat dipastikan kapan akan dilaksanakan. Untuk itu diperlukan suatu tahapan dan rencana yang jelas dalam arsitektur perbankan nasional untuk mengakomodasi permasalahan diatas.

Best Practices Di Negara Lain
      Beberapa negara telah memiliki semacam blue print atau landscape perbankan yang dibuat oleh bank sentral maupun dari pemerintah masing-masing. Bahkan blue print tersebut ada juga yang bersifat lebih komprehensif dan luas, dalam arti meliputi seluruh aspek sistem keuangan, tidak hanya perbankan saja tetapi juga menyangkut lembaga keuangan lainnya. Beberapa contoh negara yang telah memiliki blue print tersebut antara lain Malaysia, Hongkong, Thailand, Canada dan Australia.

      Sebagai contoh, blue print sistem keuangan di Australia bersifat luas dan komprehensif, meliputi semua aspek lembaga keuangan termasuk perbankan. Cetak biru sistem keuangan di Australia tersebut dibuat oleh satu tim yang disebut Wallis Inquiry (nama Wallis diambil dari nama ketua tim : Stan Wallis) merupakan salah satu contoh financial landscape yang tidak hanya bersifat komprehensif, tetapi juga memiliki visis jauh ke depan. Ada beberapa hal dari hasil Wallis Inquiry yang bisa kita jadikan pelajaran untuk penyusunan landscape perbankan nasinal kita, antara lain larangan merger diantara 4 bank besar dan 2 perusahaan asuransi terbesar. Larangan seperti ini sangat bagus untuk menciptakan level kompetisi yang sehat diantara lembaga keuangan yang mendominasi pasar sehingga masyarakat dapat terlindungi dari praktek oligopoli maupun monopoli.

      Disamping itu, masih banyak good lessons yang dapat kita petik dari pengalaman dan best practices dari negara-negera yang telah memiliki landscape tersebut. Kewajiban untuk go public bagi bank-bank yang telah memiliki batas modal tertentu seperti halnya di Canada merupakan salah satu pelajaran bagus yang perlu kita pikirkan penerapannya di Indonesia. Tujuan bank-bank untuk lebih banyak melakukan go public sangat erat kaitannya dengan tranparansi keuangan lembaga perbankan itu sendiri yang pada akhirnya juga dapat menciptakan good corporate governance. Contoh-contoh tersebut merupakan hal-hal positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan arsitektur perbankan nasional kita di masa yang akan datang.

Untuk bagian selanjutnya, silahkan klik disini !

0 comments:

Post a Comment