Thursday, December 31, 2020

Filsafat Ilmu - Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu I

 



Pendahuluan
      Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan peradaban Muslim bentuk dan coraknya yang khas. Tulisan ini akan membahas bagaimana ilmu dipahami dan dipetakan oleh ulama dari beragam aliran pemikiran selama rentang ratusan tahun.

Mendefinisikan Ilmu
      Oxford English Dictionary mendaftar tiga arti untuk kata “ilmu”: (i) informasi dan kecakapan yang diperoleh melalui pengalaman atau pendidikan; (ii) keseluruhan dari apa yang diketahui; (iii) kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui pengalaman akan suatu fakta atau keadaan.

       Pertama, informasi dapat benar atau salah, Cambridge English Dictionary menyatakan bahwa informasi adalah fakta tentang suatu keadaan, orang, peristiwa, dan seterusnya, maka fakta setara dengan ilmu. Namun fakta bukanlah ilmu dan ilmu tidak bisa dikacaukan dengan fakta. Demikian juga untuk mendefinisikan ilmu dalam hal kecakapan dan keahlian adalah problematis, misalnya kita tahu persis apa itu pesawat udara namun mengetahui apa itu pesawat udara tidak berarti ahli tentangnya, sebalinya juga benar: keahlian menyiratkan ilmu, tetapi ilmu tidak mesti berarti keahlian.

      Definsi kedua, menyatakan bahwa ilmu adalah keseluruhan dari apa yang diketahui, ini juga patut dipertanyakan, jika “apa yang diketahui” adalah ilmu, hal ini semata menyatakan bahwa ilmu adalah ilmu.

      Definisi ketiga, “kesadaran” mungkin bisa timbul dari ilmu, tetapi ilmu bukan kesadaran, kita mungkin sadar akan nyamuk yang berada disekitar kita, tetapi itu tidak berarti sama dengan memiliki ilmu tentang nyamuk – kecuali jika kita seorang ahli biologi.

      Nyaris seribu tahun sebelum kelahiran Rasulullah saw, seorang Plato sampai dengan definisi sebagai berikut “ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan”, kita dapat memecahnya menjadi tiga unsur, yakni keyakinan, kebanaran, dan nalar. Hal-hal ini adalah tiga syarat yang harus dipenuhi untuk proposisi apapun agar memenuhi syarat sebagai ilmu.

Ilmu Menurut Ulama
      Yang pertama diajukan oleh seorang pakar filologi al-Raghib al-Isfahani (w.443/1060) dalam karyanya “Kamus Istilah Qur’an” ilmu didefinisikan sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya”, ini artinya bahwa sekedar memiliki sifat (bentuk, ukuran, berat, isi, warna, dll)  suatu hal tidak merupakan bagian dari ilmu.

      Definisi kedua diberikan oleh “Hujjat al-Islam” Imam al-Ghazali (w.505/1111) yang memberikan ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya” (ma’rifat al-shay’ ‘ala ma huwa bihi), tiga hal disini yang perlu diuraikan. Pertama dengan menyatakan bahwa ilmu adalah pengenalan, Imam al-Ghazali tampak menekankan fakta bahwa ilmu merupakan masalah perorangan. Ilmu mewakili keadaan minda, yaitu keadaan dimana sesuatu itu tidak lagi asing bagi seseorang karena dikenali oleh minda orang tersebut. Kedua, tidak seperti istilah idrak yang tidak hanya menyiratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain tetapi juga menyiratkan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya kedalam minda seseorang dari luar. Poin lain yang relevan terdapat pada ungkapan ‘ala ma huwa bihi. Dalam pandangan Imam al-Ghazali kita tidak dapat mengklaim memiliki ilmu sesuatu kecuali jika dan hingga kita tahu sesuatu itu “apa adanya”. Sesungguhnya sesuatu itu tampak tidak sebagaimana hakikatnya, seperti bumi tampak datar, bintang tampak kecil, matahari tampak mengelilingi bumi, dan seterusnya.

      Tidak semua ulama setuju dengan definisi konseptual ilmu ini, mahaguru sufi asal Andalusia Ibn Arabi (w.638/ 1240), mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental atas segala hal dalam batas dirinya apa adanya. Baginya ilmu adalah sifat yang dianggap berasal dari minda melalui penerimaan tersebut, sehingga minda itu disebut yang mengetahui, dan segala hal disebut sebagai yang diketahui.


Sumber : Filsafat Ilmu by Dr. Adian Husaini, et. al


0 comments:

Post a Comment