Filsafat ilmu Barat yang sekular yang bertumpu pada akal semata dan menolak “wahyu” sebagai sumber ilmu telah membawa bencana besar bagi umat manusia, filsafat ilmu sekular inilah yang memicu kekacauan besar dalam dunia keilmuan dan kemanusiaan saat ini.
Ilmu pengetahuan yang disebarkan Barat itu menurut al-Attas pada hakikatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar dan lebih menimbulkan kekacauan ketimbang membawa perdamaian dan keadilan. Bagi Barat kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoretis, konsekuensinya adalah penegasan Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhanpun dimanusiakan (Man is deified and Deity humanized). (Jennifer M. Webb (ed), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002), vol 2, hal. 231-240).
Kritik-kritik al-Attas terhadap karakteristik keilmuan Barat modern, misalnya juga disampaikan saat Konferensi Internasional para filsuf pada Januari 2000 di University of Hawai dengan tema yang dibahas “Technology and Cultural Values on the Edge of the Third Millennium”. Ketika iyu al-Attas menyampaikan makalah bertajuk “Islam and the Challenge of Modernity: Divergence of Worldviews”. Tentang konsep Tuhan al-Attas menggaris bawahi:
“God is not a myth, an image, a symbol, that keeps changing with the times. He is reality it self. Belief has cognitive content, and one of the main points of divergence between true religion and secular philosophy and science is the way in which the sources and methods of knowledge are understood.”
Dalam uraiannya ini al-Attas menjelaskan soal konsep kebahagiaan, seperti sikap Muslim yang menolak konsep Aristotelian tentang kebahagiaan yang hanya menyentuh aspek duniawi, dan hingga kini diikuti oleh konsep modern, Ia menegaskan tentang pandangan Islam yang tidak memisahkan aspek duniawi dengan akhirat. Konsepsi modern tentang kebahagiaan menurut al-Attas esensinya sama dengan konsepsi manusia dimasa lalu, sedangkan dalam islam konsep kebahagiaan akan dialami dan disadari oleh orang-orang yang benar-benar tunduk dan patuh kepada Allah SWT, karena puncak kebaikan dalam hidup adalah cinta kepada Allah SWT.
Secara khusus Prof. Naquib al-Attas mendefinisikan kebahagiaan, sebagai berikut:
“Kesejahteraan” dan “kebahagiaan” bukan hanya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari dan bukan pula dia suatu keadaan akal fikir insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam pikiran dan nazar akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari, yakni: keadaan diri yang yakin akan hak ta’ala dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na kebahagiaan dan pengalamannya dalam Islam, [Kuala Lumpur: ISTAC: 2002], pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. Xxxv).
0 comments:
Post a Comment